Minggu, 25 Maret 2012

Journal ..

Jurnal

Pasang Surut Paradigma

Administrasi Publik

Drs. Awang Anwaruddin, M.Ed.

EKSISTENSI ADMINISTRASI

PUBLIK

Dalam essaynya yang sangat terkenal, Wilson mengatakan, bahwa “.....administration questions are not political questions; although politics sets the tasks for administration, it should not be suffered to manipulate its offices.” Dikotomi antara kedua bidang ilmu dalam implementasi administrasi publik tampaknya menggelitik para ilmuwan untuk melakukan kajian lebih dalam. Hasilnya adalah ditemukannya kenyataan bahwa administrasi publik dipandang memiliki karakteristik yang Universal, yakni dapat diimplementasikan Pada semua tatanan administrasi Tanpa mempedulikan kebudayaan,Fungsi, lingkungan, misi, atau kerangka institusi, asalkan adalah prinsip-prinsip Yang terkandung di dalamnya harus

Diterapkan. Prinsip-prinsip administrasi publik Tersebut pada awalnya dikemukakan Oleh willoughby pada tahun 1927, Melalui bukunya principles of public Administration, disusul oleh tokoh-tokoh Legendaris lainnya seperti henry fayol, Mary parker follet, luther gulick dan Lyndall urwick yang terkenal dengan Prinsip-prinsip posdcorb. Dan Eksistensi administrasi publik pada era ini Tampaknya cukup tersirat pada definisi Yang disampaikan oleh litchfield (administrative science quarterly, vol. I, 1956) sebagai berikut: “public Administration is a study of how all kinds of government institutions are organized,staffed, motivated, and managed.”

Kemunduran eksistensi administrasi publik kepada pemikiran awal Leonard White ini tentu saja mendapat pertentangan dari berbagai ilmuwan dan cendekiawan yang menyatakan bahwa administrasi adalah administrasi, yang dapat ditemukan di semua tatanan administrasi tanpa mempedulikan kebudayaan, fungsi, lingkungan, misi, atau kerangka institusi. Pemikiran semacam ini terutama dikemukakan oleh Dwight Waldo (1953)yang membe r ikan peng ertian administrasi publik, bahwa “public administration is the organization and management of men and materials to achieve the purpose of government.”

DARI TEORI KE PARADIGMA

Beberapa ahli telah merumuskan berbagai teori sebagai dasar untuk memahami gejala-gejala yang berkembang dalam administrasi publik. Misalnya William Morrow (Mufiz, 1984-1985, merumuskan lima buah teori, yaitu: (1) Deskriptive, (2) Prescriptive, (3) Normative, (4) Assumtive, dan (5) Instrumental. Sementara Stephen Robbins mendasarkan pengembangan ilmu administrasi publik pada lima schools of administration thought, yaitu: (1) Traditional, (2) Empirical, (3) Behavioral, (4) Process, dan (5) Decision-Science.

Di lain pihak Stephen Bailey (Nisjar,ibid) mengembangkan empat jenis teori yang mendasari pembentukan tiga pilar administrasi publik, dan selanjutnya digunakan sebagai dasar penyusunan paradigma oleh Henry, yaitu (1) Deskriptif, (2) Normatif, (3) Asumtif, dan (4) Instrumental. Teori ini berhubungan dengan pengembangan teknik-teknik manajemen dalam pencapaian sasaransasaran publik secara efektif dan efisisen. Dari keempat teori tersebut selanjutnya berkembang suatu proses pembentukan tiga pilar utama administrasi publik, yaitu: (1) Perilaku organisasi, dan perilaku manusia dalam organisasi-organisasi publik, (2) Teknologi manajemen, dan lembagalembaga implementasi kebijaksanaan, dan (3) Kepentingan publik yang berkaitan dengan pilihan etika individual dan persoalan-persoalan pemerintahan.

Berdasarkan pada ketiga pilar administrasi publik tersebut selanjutnya ara ahli mengembangkan berbagai paradigma untuk menggambarkan berbagai gejala perkembangan dalam ilmu administrasi. Dalam makalah ini pun paradigma digunakan sebagai instrumen untuk menganalisis cara pandang para ahli terhadap permasalahan dan solusi bidang administrasi publik sesuai dengan dinamika perkembangannya.

Model Administrasi Publik pada Era

Pembangunan

Tiga model analisis yang dikenal dengan paradigma yang telah didiskusikan di atas menawarkan pemikiran-pemikiran yang sangat bermanfaat bagi pemecahan masalah-masalah empirik, baik organisasional maupun lingkungan, yang muncul dalam setiap praktek administrasi publik. Akan tetapi dalam kenyataannya, ketiga paradigma tersebut, dan paradigmaparadigma administrasi publik lainnya, tampaknya belum dapat membantu memecahkan permasalahan-permasalahan sebagai-mana diharapkan terbukti dengan masih banyaknya negara, terutama negara-negara berkembang, yang belum berhasil melaksanakan fungsi umum pemerintahan secara efektif dan efisien. Berbagai dimensi administrasi dan kompleksitas permasalahan pembangunan yang tumbul dalam rangka penyelenggaraan berbagai tugas pemerintahan di negara-negara berkembang tersebut secara sistemik berhubungan erat satu sama lain, dan dapat disederhanakan dalam komponenkomponen permasalahan administrasi sebagai berikut: kelembagaan, organisasi, sumber daya manusia, manajemen dan sarana dan prasarana administrasi (Mustopadidjaja, ibid). Apabila dihubungkan dengan inti dari ilmu administrasi publik ketika pertama kali dikembangkan oleh Woodrow Wilson bahwa tujuan utama eksistensinya adalah untuk melayani kepentingan masyarakat pada umumnya, maka tampaknya diperlukan paradigma-paradigma baru yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan administrasi di negara-negara berkembang dan berorientasi pada 'administrasi pemerintahan yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah untuk kepentingan masyarakat.

(1) Konsepsi 'Reinventing Government'

Konsep ini muncul pada tahun 1990-an, dan ditetapkan oleh pemerintah Amerika Serikat sebagai proyek perbaikan administrasi pemerintahan dalam bidang pelayanan publik. Dipimpin oleh Wakil Presiden Al Gore, proyek 'Reinventing Government' dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan publik AS terhadap pemerintahnya. Adapun nama proyek tersebut diambil dari buku dengan judul yang sama, yang disusun oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992). Dalam buku tersebut Osborne dan Gaebler menawarkan sepuluh konsep perbaikan pelayanan publik. Kesepuluh konsep tersebut adalah (1) Streering rather than rowing, (2) Empower communities to solve their own problems rather than merely deliver services, (3) Promote and encourage competition rather than monopolies, (4) Be driven by missions rather than rules, (5) Result oriented by funding outcomes rather than outputs, (6) Meet the needs of the customer rather those of the bureaucracy, (7) Concentrate on earning money rather than just spending it, (8) Invest in preventing problems rathet than curing crises, (9) Decentralize authority rather than build hierarchy, dan (10) Solve problem by influencing market forces rather than treatin public programs.

(2) Konsepsi 'Banishing Bureacracy'

Paradigma baru lainnya menurut David Osborne dan Peter Plastrik di dalam buku “Banishing Bureaucracy” (1996) adalah membahas cara penerapan strategi untuk mentransformasikan sistem dari organisasi birokrasi ke organisasi wirausaha, dengan memberikan know how untuk aplikasinya melalui 5 strategi inovatif. Kelima strategi tersebut adalah (1) Center Strategy, (2) Consequency Strategy, (3) Customer Strategy, (4) Control Strategy, dan (5) Cultural Strategy. Perbedaan antara kedua paradigma adalah : Reinventing Government menawarkan reinvensi dengan karakteristik yang berorientasi wirausaha secara deskriptif, sedangkan Banishing Bureaucracy membahas cara penciptaan strategi untuk mentransformasikan sistem organisasi birokrasi ke organisasi wirausaha secara preskriptif.

Menurut Osborne dan Plastrik Center Strategy dimaksudkan untuk menata kembali tujuan, peran dan arah organisasi. Sementara Consequency Strategy diharapkan dapat mendorong persaingan sehat“ guna meningkatkan motivasi dan kinerja pegawai, melalui penerapan “reward and punishment dengan memperhitungkan resiko ekonomi dan pemberian penghargaan. Dalam Customer Strategy pola pertanggung-jawaban kinerja pelayanan dirubah dari lembaga yang dibentuk pemerintah kepada masyarakat pelanggan. Strategi ini memberikan pilihan kepada masyarakat terhadap organisasi pemberi pelayanan dan menetapkan standar pelayanan yang harus dipenuhi organisasi-organisiasi tersebut.

(3) Konsepsi 'Good Governance'

Good Governance merupakan suatu paradigma baru yang berorientasi kepada hubungan yang sinergik dan konstruktif di antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat, dalam rangka melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggungjawab. UNDP merumuskan 9 karakteristik Good Governance. Kesembilan karakteristik tersebut adalah (1) Participation, (2) Rule of Law, (3) Transparency, (4) Responsiveness, (5) Consensus Orientation, (6) Equity, (7) Effectiveness and Efficiency, (8) Accountabilty, dan (9) Strategic Vision.







JURNAL

konsep good governance dalam konsep otonomi daerah

Alwi Hasyim Batubara

Konsep good governance dalam otonomi daerah sebagai suatusyarat mutlak untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang dapat mengikuti tuntutan perubahansesuai dengan kondisi masyarakat. Beti Nasution melihat perlunya pelatihan sumber daya manusia berbasis kompetensi, dilanjutkan tentang perlunya perhatian perdagangan ekspor dan impor olehDahlia Hafni Lubis. Di sisi lain, Erika Revida melihat munculnya perilaku kekerasan sehinggamanajemen konflik perlu dikembangkan untuk menjawab persoalan tersebut. M. Arifin Nasution lebihoperasional dalam pengembangan otonomi daerah melalui konsep pemberdayaan kelurahan, diikutitulisan mengenai pentingnya pengembangan kawasan melalui paradigma perencanaan partisipatif olehMarlon Sihombing. Selanjutnya Antonius Sitepu mengkaji secara teoretis pendekatan realisme politik,ditutup dengan paparan Rasudyn Ginting tentang struktur pemerintahan negara Republik Indonesia pasca-amandemen UUD 1945.

Konsep Good Governance Jika mengacu pada program World Bank Dan United Nation Development Program (UNDP), orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance. Pengertian good governance sering diartikansebagai kepemerintahan yang baik. GunawanSumodiningrat (1999: 251) menyatakan good governance adalah upaya pemerintahan yangamanah dan untuk menciptakan good governance pemerintahan perlu didesentralisasi dan sejalandengan kaidah penyelenggaraan pemerintahanyang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dannepotisme. Sementara itu, World Bank Mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yangsolid dan bertanggung jawab yang sejalandengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupunadministrasi, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framewor bagitumbuhnya aktivitas usaha (Mardiasmo, 2002: 18).Selanjutnya, UNDP memberikan beberapakarakteristik pelaksanaan good governance ,meliputi:a) Participation. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsungmaupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya.Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. b) Rule of law. Kerangka hukum yang adil dandilaksanakan tanpa pandang bulu.c) Transparency. Tranparansi dibangun atasdasar kebebasan memperoleh informasi.Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.

d) Responsiveness Lembaga-lembaga publik harus cepat tanggap dalam melayani stakeholder .

e)Consensus orientation Berorientasi padakepentingan masyarakat yang lebih luas.

f) Equity Setiap masyarakat memiliki kesempatanyang sama untuk memperoleh kesejahteraandan keadilan.

g) Efficiency and Effectiviness Pengelolaansumber daya publik dilakukan secara berdayaguna (efisien) dan berhasil guna (efektif).

h) Accountabilit Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.

i) Strategic vision Penyelenggara pemerintahandan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan.

Untuk mewujudkan good governance dalam konteks otonomi daerah sekaligus bagaimana upaya sistem pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan sertakesejahteraan masyarakat, diperlukan adanyareformasi kelembagaan (institutional reform) dan reformasi manajemen publik (public management reform). Reformasi kelembagaan menyangkut pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan didaerah baik struktur maupun infrastrukturnya danyang menyangkut reformasi manajemen publik,organisasi sektor publik perlu mengadopsi beberapa praktik dan teknik manajemen yangditerapkan sektor swasta. Selain reformasikelembagaan dan reformasi manajemen publik,untuk mendukung terciptanya good governance,maka diperlukan serangkaian reformasi lanjutanterutama yang terkait dengan sistem pengelolaankeuangan pemerintah daerah. Tuntutan pembaharuansistem keuangan tersebut adalah agar pengelolaanuang rakyat (public money) dilakukan secaratransparan dengan mendasarkan konsep value for money sehingga tercipta akuntabilitas publik (public accountability) yang pada akhirnya dapatmenciptakan kesejahteraan pada masyarakat.

Rabu, 07 Maret 2012

Paradigma Administrasi Publik

Paradigma 3

Administrasi Negara Sebagai Ilmu Politik (1950-1970)

Dalam Periode sejak akhir tahun 1930-an timbul kritik-kritik tajam terhadap administrasi publik, seperti yang dilontarkan Herbert Simon. Akibatnya, administrasi publik mundur ke dalam disiplin induknya, yaitu ilmu politik. Pengaruh dari gerakan mundur ini berupa pembaharuan definisi mengenai Locus yang ditimpakan pada birokrasi pemerintah, tetapi dengan melepaskan hal-hal yang berkaitan dengan Focus.
Periode ke tiga ini dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk meninjau kembali segala jalinan konseptual antara administrasi publik dan politik. Konsekuensi dari usaha ini hanya menciptakan lorong studi, yang pada akhirnya dalam pengertian Focus analitis, mengarah pada keterlampilan belaka. Karena itu, tidak mengherankan jikatulisan-tulisan mengenai administrasi publik pada kurun 1950-an hanya berbicara tentang penekanan atau penonjolan satu wilayah kepentingan, bahkan sebagai sinonim dengan ilmu politik. Periode ini ditandai penekanan Locus, yaitu pada birokrasi pemerintahan. Sedangkan tulisan-tulisan berusaha mengkaitkan administrasi publik dengan ilmu politik.

Sumber Buku : Administrasi Publik/ Dr. H. Sukidin, Mpd, Damai Darmadi. 2011



Paradigma 3

Administrasi Negara Sebagai Ilmu Politik (1950-1970)

Kritik pada paradigma 1 dan 2 telah memaksa administrasi negara kembali ke induk disiplinnya yaitu ilmu politik dengan locus pada birokrasi pemerintahan tetapi fokusnya kurang begitu jelas karena terbaur dengan ilmu politik.
Pada periode paradigma inilah merupakan suatu upaya untuk merajut kembali hubungan konsepsial antara administrasi negara yang telah kehilangan identitasnya yang utama karena ruang lingkup, tekanan, dan pengertiannya identik dengan ilmu politik. Usaha keras dan lama untuk mempunyai jati diri sebagai suatu bidang studi tersendiri seolah-olah hilang begitu saja. tetapi kemudian mulai tahun 1962-1967 para ahli ilmu politik kurang tertarik minatnya pada administrasi negara sehingga terasa administrasi negara mulai kehilangan lagi hubungannya dengan ilmu politik. namun demikian ada perkembangan menarik pada periode tahun 1956-1970 yaitu upaya administrasi negara untuk mencari dan menemukan jati dirinya lagi.

Sumber Buku: Pengantar Ilmu Administrasi/ F.I.A UNIBRAW. 2010



Paradigma 3

Administrasi Negara Sebagai Ilmu Politik (1950-1970)

Pada masa ini Administrasi negara telah berkembang sebagai bagian dari ilmu politik. hubungan Administrasi Negara dengan Ilmu Politik
  1. Hubungan antara administrasi negara dan ilmu politik telah berjalan lama, karena secara praktis tidak ada batas yang tegas antara politik dan administrasi.

  2. Orientasi politik dalam studi administrasi negara meletakkan administrasi negara sebagai satu elemen dalam proses pemerintahan. Administrasi negara dipandang sebagai satu aspek dari proses politik dan sebagai bagian dari sistem pemerintahan.

  3. Munculnya dikhotomi politik-administrasi sebenarnya merupakan gerakan koreksi terhadap buruknya karakter pemerintah.

  4. Dalam perkembangannya, orientasi politik dalam studi administrasi negara di kombinasikan dengan orientasi manajerial yang dikenal dengan orientasi politik-manajerial, dan orientasi sosio-psikologis yang dikenal dengan orientasi politik-sosio-psikologis.


    Sumber Buku: Metode Riset Ilmu Administrasi/ Husein Umar. 2004



    Paradigma 3

    Administrasi Negara Sebagai Ilmu Politik (1950-1970)

    Tokoh : Nicholas Henry
    • Menurut HERBERT SIMON ( The Poverb Administration ) à Prinsip Managemen ilmiah POSDCORB tidak menjelaskan makna “ Public” dari “public Administration “ menurut Simon bahwa POSDCORB tidak menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh administrator publik terutama dalam decision making. Kritik Simon ini kemudian menghidupkan kembali perdebatan Dikotomi administrasi dan Politik
    • Kemudian muncullah pendapat Morstein-Mark ( element Of Public Administration yang kemudian kembali mempertanyakan pemisahan politik san ekonomi sebagai suatu hal yang tidak realistik dan tidak mungkin
    • Kesimpulannya Secara singkat dapat dipahami bahwa fase Paradigma ini menerapkan suatu usaha untuk menetapkan kembali hubungan konseptual antara administrasi saat itu, karena hal itulah administrasi pulang kembali menemui induk ilmunya yaitu Ilmu Politik, akibatnya terjadilah perubahan dan pembaruan Locusnya yakni birokrasi pemerintahan akan tetapi konsekuensi dari usaha ini adalah keharusan untuk merumuskan bidang ini dalam hubungannya dengan focus keahliannya yang esensial. Terdapat perkembangan baru yang dicatat pada fase ini yaitu timbulnya studi perbandingan dan pembangunan administrasi sebagi bagian dari Administrasi negara.



    Paradigma 3

    Administrasi Negara Sebagai Ilmu Politik (1950-1970)

    Keyakinan bahwa politik dan administrasi adalah
    satu perkembangan adm.publik agak terhambat, mengalami krisis identitas.
    Muncul dua perkembangan baru:
    1. Meningkatnya penggunaan studi kasus sebagai instrumen epistemologi, dan
    2. Lahirnya studi perbandingan dan administrasi pembangunan sebagai sub bidang kajian Administrasi Publik
    Sumber Slide Ppt : Sejarah Perkembangan Ilmu Administrasi.